Pakar Hukum: Penambangan di Raja Ampat Melanggar UU 1/2024 dan Keputusan MK

Ikuti kami untuk mendapatkan Berita Aktual lainnya

Mediaakurat.org, Jakarta,- Kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat, akibat penambangan nikel sudah melanggar hukum. Setidaknya ada 4 (empat) aturan hukum yang dilanggar, yaitu : Pasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2023 terkait larangan aktifitas tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang sudah jelas mengatur hal tersebut. Tidak diterapkan dengan baik. Artinya, aktifitas pertambangan di Raja Ampat telah dilanggar secara sengaja oleh pejabat-pejabat pemerintahan,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia, Prof. Dr. John Pieris, SH., MS., dalam pernyataan resminya, di Jakarta, Sabtu (21/6/2025).

John Pieris kritis menilai, ini yang ketahuan baru satu pulau. “Kalau kita tidak segera menutup, bukan tidak mungkin akan merambah ke pulau-pulau lainnya”.

Dia menegaskan, nikel itu berada di kedalaman tanah tertentu, terutama di pulau-pulau kecil. Kalau dieksploirasi dan dieksploitasi terus menerus sampai habis, bisa merusak pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat, dan air laut bisa merambat masuk merusak pulau-pulau tersebut. Akibatnya, pulau-pulau tersebut akan lenyap, dan kerusakan lingkungan akan lebih parah bahkan sulit dipulihkan.

Dijelaskan, tambang nikel di Raja Ampat memiliki dampak besar terhadap lingkungan di sekitarnya. “Itu (penambangan) berpotensi mengganggu habitat (biota laut dan terumbu karang). Diketahui, penduduk setempat saja tidak boleh sembarangan menangkap ikan. Padahal, di sana ada ratusan jenis ikan yang tidak ada di tempat lain. UNESCO sendiri begitu memproteksi tempat tersebut dan menilainya sebagai harta kekayaan dunia. Bahkan UNESCO menyebut kawasan itu sebagai global Geopark (keaneka ragamaan hayati dunia). Lebih dari 1500 jenis ikan, 6999 jenis molusca, 5 jenis penyu, 16 jenis mamalia dan 1000 diving spot dunia ada di Raja Ampat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2006 telah menyampaikan gagasannya terkait komitmen Indonesia terhadap konservasi keaneka ragaman hayati dalam pidato di Convention on by logical deversity (CBD) ke-8 di Brasil. Dalam pidatonya, Presiden SBY menyatakan, bahwa prakarsa ini sebagai janji masyarakat Indonesia kepada dunia untuk merawat dan menjaga kekayaan keaneka ragaman hayati di Raja Ampat khususnya sebagai pencitraan positif tentang pengelolaan potensi keaneka ragaman secara benar dan rasional, tapi anehnya, sambung Kaprodi Program Doktor Hukum UKI ini, justru kita sebagai pemilik Raja Ampat yang merusaknya.

Parahnya lagi, hal tersebut sepertinya dilegalkan oleh Pemerintah Pusat, dan tidak ada sedikitpun kepedulian dari DPR, DPD dan DPRD untuk mengawasinya. Kementerian Kelautan dan Perikanan Lingkungan Hidup, Agraria/BPN Hukum dan Pariwisata sepertinya tidak mau tahu dan semuanya membisu. Ditambahkan, Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal tidak hati-hati untuk membaca semua landasan yuridis dan konseptual tentang Raja Ampat. Sepertinya semua lembaga itu berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan bisnis bagi kelompok dan orang-orang tertentu, dengan alasan untuk kepentingan negara (devisa) dan pertumbuhan ekonomi.

“Saya prihatin,  melihat ada beberapa kementerian yang justru mencoba melindungi para perusak lingkungan tersebut dengan menyatakan jaraknya jauh dari lokasi wisata Raja Ampat dan sebagainya. Harusnya, pemerintah melindungi bukan malah memberi karpet merah bagi pihak-pihak yang mau merusak lingkungan,” tegasnya.

Bagi John Pieris, kementerian yang coba melindungi penambang yang merusak lingkungan dalam teori administrasi negara, sudah masuk kategori “onrechtmatige overheidsdaad”, yaitu suatu perbuatan lembaga/institusi pemerintah yang secara sengaja melawan hukum dengan merusak lingkungan.

Diakuinya, kasus tambang nikel di Raja Ampat sangat kompleks, meliputi banyak aspek, di antaranya, hukum, lingkungan, sosial, ekonomi, serta  budaya dan keindahan alam.

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia ini mengingatkan, jangan lantaran orientasinya hanya cari cuan sampai harus mengorbankan lingkungan hidup. Harus diingat, bahwa pertambangan juga harus memperhatikan prinsip-prinsip konservasi, keberlanjutan, dan keadilan sosial serta keadilan lingkungan (ecological justice). Dikatakannya, pemanfaatan pulau-pulau kecil yang berada di Raja Ampat dan di daerah-daerah lain harus diprioritaskan untuk kepentingan keilmuan seperti; observasi, pelatihan, pendidikan penelitian dan pengembangan budidaya laut, pariwisata, dan sebagainya. Seperti tertera dalam Pasal 23  ayat 2 UU 1/2024. Jangan hanya karena kepentingan bisnis (pertambangan) lalu kelestarian lingkungan dikorbankan.

Satu hal penting yang perlu diingat, seperti yang direlease menurut Bank Dunia (2006), bahwa aset alam dan modal hanya berkontribusi 23% bagi kemakmuran bangsa. Sumber utama bagi kemakmuran bangsa justru terletak pada aset-aset bangsa yang tidak berwujud secara material (intengible assets), seperti tata kelola, pengembangan institusi, etika dan kepatuhan hukum sebesar 77%. Yang paling menakjubkan adalah, bahwa kepatuhan hukum itu sendiri berkontribusi 44% bagi kemakmuran bangsa. Rudolf

Naarasumber :  Lian Tambun